Kabupaten Pesisir Selatan, terletak di ujung paling selatan Provinsi Sumatera Barat, berperan sebagai persimpangan strategis menuju Provinsi Bengkulu dan Provinsi Jambi karena dilintasi oleh jalur lintas barat Sumatera. Kabupaten Peisisr Selatan memiliki luas sekitar 6.049,34 km² atau setara dengan 14,22% dari seluruh luas Provinsi Sumatera Barat. Dengan luas wilayah yang sedemikian, Kabupaten Pesisir Selatan merupakan kabupaten terbesar di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, garis pantainya yang membentang hingga mencapai 220 kilometer, terpanjang di antara wilayah kabupaten tersebut, membentang dari perbatasan dengan Kota Padang di utara hingga perbatasan dengan Provinsi Bengkulu di selatan.1
Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu daerah di Sumatera Barat yang terletak di wilayah pesisir barat Sumatra, sehingga terpapar langsung terhadap potensi dampak perubahan iklim. Mengingat garis pantainya yang begitu panjang dan strategis, maka kerentanan terhadap perubahan iklim menjadi fokus penting di daerah ini. Maka, sejogjanya Bappenas memasukkan Kabupaten Pesisir Selatan2 dalam Buku 1 tentang Daftar Lokasi & Aksi Ketahanan Iklim dengan kategori Super Prioritas (Zona Merah) di sektor pertanian.3 Meningkatnya frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, kenaikan permukaan air laut, puting beliung, kebakaran hutan, dan kekeringan, yang salah satunya disebabkan oleh ketidaknormalan curah hujan atau cuaca ekstrem, menjadi tanda nyata terjadinya perubahan iklim.
Menurut data yang diperoleh dari Indeks Risiko Bencana tahun 2020, hampir satu juta penduduk Kabupaten Pesisir Selatan tinggal di daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap banjir di bagian tengah, utara, dan selatan Kabupaten. Sementara itu, lebih dari 60 ribu penduduk tinggal di daerah rawan banjir bandang di wilayah selatan yang berada di dataran tinggi. Saat musim kemarau tiba, kawasan di bagian utara menghadapi masalah kekeringan. Ini menegaskan bahwa ancaman yang berhubungan dengan cuaca dan iklim mendominasi berbagai kejadian bencana yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan.
Kabupaten Pesisir Selatan diidentifikasi sebagai salah satu wilayah dengan risiko bencana yang tinggi menurut data dari BNPB tahun 2020. Dari total 15 kecamatan yang ada di kabupaten ini, 12 di antaranya dinyatakan sebagai daerah yang memiliki potensi risiko bencana yang signifikan.
Wilayah yang rentan terhadap banjir di Kabupaten Pesisir Selatan mencakup luas lahan seluas 357.847 hektar yang tersebar di beberapa titik, seperti yang dilaporkan oleh Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB pada tahun 2020. Data yang diperoleh dari BNPB Kabupaten Pesisir Selatan, mencatat bahwa kejadian bencana hidrometeorologi mengalami peningkatan dari tahun 2018 hingga 2022. Jumlah kejadian yang tercatat mencerminkan tren ini, dengan contoh peningkatan dari 16 kejadian pada tahun 2019 menjadi 33 kejadian pada tahun 2021. Jenis bencana yang melibatkan banjir dan tanah longsor menjadi perhatian utama dalam kategori ini.
Salah satu dari 12 kecamatan yang menghadapi masalah banjir adalah Kecamatan IV Jurai.4 Kondisi ini dipicu oleh meluapnya Sungai Batang Lumpo yang mengakibatkan 13 nagari sepanjang sungai tersebut terendam banjir. Di antara nagari-nagari5 tersebut, Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Nagari Sungai Gayo Lumpo di Kecamatan IV Jurai mengalami dampak banjir bandang yang signifikan. Bencana ini menyebabkan kerusakan pada rumah-rumah penduduk, lahan pertanian, dan terhentinya kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak di wilayah tersebut. Selain itu, akses ke usaha-usaha yang selama ini dijalankan oleh masyarakat juga terhambat akibat kerusakan jalan dan banjir yang merendam daerah tersebut.
Di Kabupaten Pesisir Selatan, efek dari perubahan iklim seringkali dianggap sebagai sesuatu yang “samarkan,” tetapi jika kita merujuk pada Profil Kerentanan Iklim Kabupaten dan Trend Kebencanaan di Kecamatan IV Jurai, wilayah ini diidentifikasi sebagai salah satu daerah yang sangat terpengaruh. Laporan dari KLHS RPJMD Kabupaten Pesisir Selatan 2021-2026 menunjukkan bahwa tren kejadian bencana dari tahun 2017 hingga 2021 semakin meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologis Kabupaten Padang Pariaman, suhu rata-rata di Pesisir Selatan mengalami peningkatan sebesar 0.017% setiap tahun, dan terdapat pula peningkatan tren curah hujan sebesar 0.03% setiap tahun. Pada tahun 2019, menurut data yang dilaporkan oleh BPS (2020), terdapat penurunan curah hujan sepanjang tahun, namun curah hujan pada periode musim hujan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun demikian, jumlah hari dengan hujan lebat meningkat, yang mengindikasikan bahwa potensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat.
Di Kabupaten Pesisir Selatan, sektor pertanian memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyerap tenaga kerja, terutama di berbagai nagari di wilayah ini. Secara umum, pertanian dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pesisir, lahan pertanian yang diperuntukkan bagi tanaman pangan mencapai luas 45.291 hektar. Lahan pertanian ini, sebagian besar digunakan untuk bercocok tanam padi, sehingga Kabupaten Pesisir Selatan telah berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu penyedia utama beras di Provinsi Sumatera Barat.
Pada tahun 2021, tercatat bahwa Kabupaten Pesisir Selatan mengalami penurunan angka produksi padi sebesar 239.216 ton GKG, yang artinya terjadi penurunan sekitar 62,5 persen bila dibandingkan dengan produksi padi pada tahun 2020. Terdapat banyak faktor yang menghambat kemungkinan untuk meningkatkan produksi secara efektif. Hal ini meliputi kelangkaan pupuk, serangan hama dan penyakit, ketidakoptimalan sistem irigasi, serta keterbatasan lahan pertanian pangan, semua faktor ini memiliki dampak signifikan terhadap upaya meningkatkan produksi. Penurunan ini mencerminkan dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata dan merusak. Faktor-faktor seperti cuaca yang tidak stabil, penurunan curah hujan, dan suhu yang ekstrem telah mempengaruhi kemampuan daerah ini untuk menjaga produksi padi tetap stabil.
Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produksi padi adalah tingginya alih fungsi lahan di Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk mengatasi keterbatasan lahan pertanian pangan, Dinas Pertanian telah melakukan upaya dengan menjadwalkan penanaman padi hingga tiga kali dalam setahun dengan tujuan mencapai Indeks Pertanaman (IP) yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, salah satu persyaratan kunci untuk meningkatkan IP pertanaman padi adalah memastikan ketersediaan air sepanjang tahun. Alih fungsi lahan ini dapat dianggap sebagai respons terhadap perubahan kondisi lingkungan, yang pada gilirannya dapat memperburuk masalah seperti kekeringan akibat perubahan iklim, yang memengaruhi ketersediaan lahan pertanian.
Kabupaten Pesisir Selatan, dengan luas wilayah irigasinya yang mencapai 32.935,61 hektar dan terdiri dari 265 Daerah Irigasi (DI), menjadi salah satu wilayah yang menghadapi tantangan perubahan iklim. Dari luas wilayah ini, 10 DI menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi dengan luas mencapai 7.099,64 hektar. Sementara itu, 6 DI berada di bawah wewenang Pemerintah Pusat dengan cakupan area sekitar 4.928 hektar. Sisanya, yaitu 249 DI, menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dengan luas mencapai 32.935,61 hektar. Dari seluruh luas wilayah irigasi tersebut, hanya sekitar 51,64% yang masih dalam kondisi baik, sedangkan sebagian besar mengalami kerusakan berat hingga sedang.6
Di Kecamatan IV Jurai, yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Nagari Sungai Gayo Lumpo, sistem irigasi mengalami kondisi yang sama dengan sistem irigasi di tingkat kabupaten. Khususnya di Nagari Sungai Sariak Lumpo, terdapat 27 hektar sistem irigasi yang rusak dari total 53 hektar lahan sawah yang ada. Sementara di Nagari Sungai Gayo Lumpo, diperkirakan bahwa sekitar 65 hektar sistem irigasi mengalami kerusakan dari total luas lahan sawah sebesar 127,5 hektar.
Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Nagari Sungai Gayo Lumpo, sektor pertanian menjadi sumber pendapatan terbesar pertama. Dari total 774 penduduk Nagari Sungai Sariak Lumpo (393 jiwa perempuan dan 381 jiwa laki-laki), terdapat 201 petani produktif, di mana 100 di antaranya adalah perempuan petani.7 Demikian juga di Nagari Sungai Gayo Lumpo, dengan total penduduk 1.014 jiwa (laki-laki 453 jiwa, 561 jiwa perempuan), 472 di antaranya adalah rumah tangga petani produktif dan 232 rumah tangga buruh tani.8
Perubahan cuaca yang ekstrem dan pola hujan yang tidak terduga telah memberikan dampak signifikan pada kondisi irigasi di wilayah ini, menunjukkan perlunya adaptasi dan mitigasi terkait perubahan iklim untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dengan populasi yang didominasi oleh perempuan dan banyak di antaranya berprofesi sebagai petani, ketidakmampuan yang memadai dalam menghadapi serta mengurangi dampak krisis iklim akan berpotensi mengakibatkan kerentanan yang semakin memburuk, terutama bagi para petani perempuan.
Sementara itu, dalam konteks Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Sungai Gayo Lumpo, kelompok masyarakat lain yang teridentifikasi, seperti anak-anak, juga menjadi bagian dari kelomok yang rentan terhadap krisis iklim. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan anak-anak pada peran ibu9 mereka, yang mayoritasnya adalah perempuan petani, untuk perlindungan dan pengawasan, sehingga mereka mengalami tingkat kerentanan yang lebih tinggi ketika dihadapkan pada situasi krisis iklim, seperti bencana alam atau ketidakstabilan ekonomi. Dengan demikian, peran domestik perempuan petani dalam keluarga akan semakin meningkat dalam menghadapi berbagai dampak yang timbul akibat krisis iklim.
Peran gender dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim berkaitan dengan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga. Salah satu faktor yang sangat berperan dalam menemukan strategi adaptasi yang efektif dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan memahami dimensi gender dalam pemahaman tentang iklim dan perubahan iklim itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tentang iklim dan cuaca menjadi reaksi dasar yang akan diambil oleh masyarakat ketika mereka dihadapkan pada perubahan iklim.10
Perbedaan dalam pengetahuan berdasarkan gender di antara petani di Nagari Sungai Gayo Lumpo pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan tingkat pemahaman tentang penyebab perubahan iklim. Terdapat perbedaan signifikan dalam tingkat pengetahuan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap pendidikan dan sumber-sumber informasi seperti radio, penyuluhan, dan keanggotaan dalam organisasi. Kondisi ini mengurangi kemampuan perempuan dalam mengadaptasi diri terhadap perubahan iklim. Pengetahuan lokal masyarakat tentang iklim menjadi faktor kunci dalam menemukan strategi adaptasi yang efektif untuk menghadapi perubahan iklim, karena respons dasar masyarakat terhadap perubahan iklim sangat bergantung pada pemahaman mereka terhadap iklim dan cuaca.11
Akses, partisipasi, dan manfaat dalam usaha adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di kalangan petani padi sawah di Nagari Sungai Sariak Lumpo, menunjukkan pola yang berbeda berdasarkan gender. Laki-laki cenderung mendominasi akses dan kendali terhadap perlakuan dalam usaha tani, termasuk dalam hal penggunaan obat tanaman, pemilihan komoditas, penentuan waktu tanam, penggunaan pupuk, dan perlakuan hasil panen. Mereka juga lebih banyak terlibat dalam kegiatan fisik seperti pembuatan penampungan air hujan, biopori, peninggian lahan untuk pengomposan limbah, dan pembukaan lahan.
Sementara itu, perempuan mendominasi kegiatan yang lebih bersifat domestik, seperti pemanfaatan kembali air rumah tangga dan pelaksanaan 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur) untuk mencegah nyamuk berkembang. Manfaat dari upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim lebih banyak dirasakan oleh laki-laki. Secara keseluruhan, tingkat kesetaraan gender dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam inisiatif adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di kalangan rumah tangga petani padi sawah di Nagari Sungai Sariak Lumpo masih berada pada tingkat sedang, yang menandakan adanya ketidaksetaraan gender, meskipun ada upaya untuk meningkatkannya.12
Kedua kondisi tersebut di atas juga dialami oleh perempuan petani di Nagari Sungai Gayo Lumpo karena sebenarnya sebelum pemekaran nagari, Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Sungai Gayo Lumpo adalah satu nagari yang bernama Nagari Lumpo. Pemekaran dilakukan tahun 2009 menjadi 11 nagari.
Sayangnya, kebijakan pemerintah dalam merespons dampak perubahan iklim, yang terungkap dalam dokumen RPJMD Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021-2026, belum sepenuhnya memperhatikan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI). Kebijakan pembangunan belum secara optimal memenuhi sasaran pembangunan gender yang melibatkan peningkatan pendapatan perempuan rentan, pemahaman partisipasi politik perempuan, dan peningkatan kemampuan perempuan di berbagai sektor.
Selain itu, dalam temuan studi di dua nagari, terdapat dimensi dan variabel gender yang belum diakomodasi sebagai indeks penilaian kerentanan. Akibatnya, perempuan petani belum mendapatkan perhatian yang khusus dan langsung sebagai kelompok rentan dalam rencana pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip dan kegiatan adaptasi terkait perubahan iklim yang terdapat dalam RAN-API ke dalam dokumen RPJMD. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan setara bagi seluruh warga, termasuk perempuan petani yang juga rentan terhadap dampak perubahan iklim.13
Referensi:
- Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2021 – 2026 ↩︎
- Kabupaten di Sumatera Barat yang masuk dalam kategori Super Prioritas (Zona Merah) di sektor pertanian dalam Buku 1 – Daftar Lokasi & Aksi Ketahanan Iklim, yakni: Agam, Padang Pariaman, Pasaman , Pasaman Barat, Pesisir Selatan. ↩︎
- Kategori Lokasi Super Prioritas, Top Prioritas, dan Prioritas, ditentukan berdasarkan kriteria berikut: 1. Super Prioritas: memiliki potensi bahaya tinggi dan memiliki salah satu kriteria Kerentanan Wilayah dan indeks risiko IRBI tinggi; 2. Top Prioritas: Memiliki potensi bahaya tinggi dan memiliki salah satu kriteria Kerentanan Wilayah atau indeks risiko IRBI tinggi; 3. Prioritas Memiliki potensi bahaya tinggi.Kategori Lokasi Super Prioritas, Top Prioritas, dan Prioritas, ditentukan berdasarkan kriteria berikut: 1. Super Prioritas: memiliki potensi bahaya tinggi dan memiliki salah satu kriteria Kerentanan Wilayah dan indeks risiko IRBI tinggi; 2. Top Prioritas: Memiliki potensi bahaya tinggi dan memiliki salah satu kriteria Kerentanan Wilayah atau indeks risiko IRBI tinggi; 3. Prioritas Memiliki potensi bahaya tinggi. ↩︎
- Kecamatan IV Jurai merupakan kecamatan di mana 2 nagarinya, yakni Nagari Sungai Sariak Lumpo dan Sungai Gayo Lumpo adalah lokasi penelitian untuk riset dengan judul “Understanding Climate Impact on The Grassroot Communities and Rural Livelihood in Indonesia: Catalysing Changes toward Adaptation and Resilience”. ↩︎
- Nagari atau Desa selanjutnya disebut Nagari atau sebutan lainnya adalah kesatuan masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perda Prov. Sumatera Barat No.8 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Nagari) ↩︎
- Revitalisasi Pengelolaan Lahan Sawah Melalui Sinkronisasi Program Tata Kelola Air Irigasi, Laporan Proyek Perubahan, Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Selatan, 2022. ↩︎
- Profil Nagari Sungai Sariak, 2021. ↩︎
- Profil Nagari Sungai Gayo Lumpo, 2021 ↩︎
- Budaya patriarkhi yang masih kuat di tengah masyarakat, individu yang paling bertanggungjawab dalam urusan domestik (peran reproduktif), termasuk pengasuhan dan pengawasan terhadap anak-anak adalah Perempuan/ibu. ↩︎
- Kisauzi, T., Mangheni, M. N., Seguya, H., dan Bashaasha, B. (2012). Gender Dimension of Farmers Perception and Knowledge on Climate Change in Teso Sub-region, Eastern Uganda. African Crop Science Journal, 20(2), 275–286 ↩︎
- Potret Perempuan Petani di Nagari Sungai Gaya Lumpo, Kecamatan IV Jurai, Kab.Pesisir Selatan: Krisis Iklim, Gender, dan Kerentanan, Tanty Herida et.al., Padang, 2023. ↩︎
- Adaptasi, Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertimbangan GESI (Gender Equality ang Social Inclusion) Pada Petani Padi Sawah di Nagari Sungai Sariak, Kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan, Tanty Herida et.al., Jurnal Sosiologi Univ.Andalas, 2023. ↩︎
- Membangun Ketangguhan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Bagi Perempuan dan Kelompok Rentan di Kabupaten Pesisir Selatan, Policy Brief, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), 2022. ↩︎